Apa Benar Naipospos Menurunkan 7 Marga?

Oleh: Maridup Hutauruk

Pertanyaan di atas menyiratkan bahwa masih banyak kalangan marga-marga keturunan Naipospos mempertanyakan sejarahnya. Ada sebagaian kalangan mengatakan bahwa Naipospos melahirkan dua orang anak (tidak termasuk anak boru) dari dua istri kakak beradik boru Pasaribu? Ada juga sebagian kalangan mengatakan bahwa Naipospos melahirkan 5 orang anak dari 2 orang istri? Dan adapula sebagian lagi kalangan mengatakan bahwa Naipospos melahirkan 7 anak dari dua orang istri? Mana pernyataan yang paling benar dari 3 silang pendapat ini memang menjadi polemik yang berkepanjangan dan para marga-marga keturunan Naipospos terkesan tak mau perduli untuk meluruskan sejarahnya?

Apa benar para marga-marga keturunan Naipospos memang tidak mau perduli untuk meluruskan sejarahnya ada terlihat dan terkesan sampai pada saat perhelatan “Pesta Jubeleum 75 Taon Pomparan Naipospos” di Dolok Imun diadakan, tak ada satu agendapun yang membicarakan unsur-unsur pelurusan sejarah?

Momen yang sangat penting seperti “Pesta Jubeleum 75 Taon Pomparan Naipospos” di Parhutaan Lobu Sibabiat – Dolok Imun – Sipoholon – Tapanuli Utara – Sumatera Utara – Indonesia yang diadakan pada tanggal 29 Juni 2008 memang meninggalkan kesan yang kurang manis bagi kebanyakan orang yang memang rindu untuk mengungkapkan emosi empathy terhadap persatuan-kesatuan marga-marga keturunan Naipospos. Ukuran tenggang waktu 50 tahun, 25 tahun, dan akan diadakan 25 tahun lagi yaitu di tahun 2033 tentu masa yang panjang dan mungkin sebagian besar peserta pesta sudah menjadi penghuni Alam Baka membawa persoalan diri yang tak pernah terselesaikan selama hidupnya.

Penulis sempat menanyakan kepada Punguan Hutauruk Se-Jabodetabek mengenai undangan resmi dari Panitia “Pesta Jubeleum 75 Taon Pomparan Naipospos” dan katanya tak pernah menerima undangan resmi tersebut, kemudian penulis menanyakan lagi kepada Punguan Hutauruk di Medan juga tak ada menerima undangan tersebut, lalu menanyakan lagi kepada Punguan Hutauruk di Bonapasogit juga mereka tak pernah mendapat undangan resmi tersebut.

Keheranan ini menimbulkan tandatanya besar tentang hajatan ini? Penulis secara iseng menanyakan kepada seorang ibu Boru Situmeang yang berjualan daging di Sirongit apakah mereka secara punguan ada mendapat undangan dari Panitia Pesta dan berkata ‘tak ada’ tapi mereka akan hadir karena mereka secara pribadi mendapat undangan melalui pemberitaan di radio.

Penulis menyediakan dua mobil pribadi di kampung halaman agar para raja-raja huta boleh mengikuti perhelatan itu akan tetapi mereka semuanya menolak ikut serta, kecuali atas permintaan pribadi maka penulis beserta ketua Punguan Hutauruk Se-Jabodetabek bersedia didampingi oleh seorang ketua ‘Koperasi Tani Pangihutan’ yang ada di Hutagurgur Sipoholon.

Dari bincang-bincang dengan berbagai kalangan ternyata ada konflik kepanitiaan antara kepengurusan di Jakarta dan di Bonapasogit, maka pantaslah pesta tersebut tidak membawa emosi empati untuk persatuan dan kesatuan marga-marga pomparan Naipospos melainkan hanya sebagai pesta yang setara dengan perayaan 17 Agustusan di kelurahan kata orang-orang yang mengomentari dari belakang kursi dimana kami duduk.

Perjalanan ke Dolok Imun melalui Jalur Siambolas bermula berjalan mulus tanpa ada hambatan, namun kemudian terperangkap ditengah kerumunan kendaraan yang tak mampu melewati medan berat menuju lokasi sehingga harus menempuh jalan berlumpur berjalan kaki sekitar 1,5 km. Sesampai di lokasi Parhutaan Lobu Sibabiat kemudia mengambil posisi duduk disayap kanan panggung dan mengikuti acara demi acara yang dimulai dengan kebaktian dan dilanjutkan acara-acara protokoler lainnya yang dimulai dengan Kata Sambutan dari Panitia Bolahan Amak-Hutaraja Sipoholon.

Acara penanaman benih jagung berjalan sebagaimana layaknya yang secara simbolis dilakukan oleh masing-masing mewakili 7 marga pomparan Naipospos. Sumbangan 5 ton benih jagung dari Drs. Syarfi Hutauruk, MM-anggota DPR-RI dan sumbangan lainnya berupa benih padi sebanyak 20 ton dari Drh. Allen Marbun, dan sumbangan-sumbangan dari berbagai kalangan lainnya.

Mengetahui sebelumnya bahwa agenda kepanitiaan dan kepengurusan yang tak jelas eksistensinya menimbulkan pertanyaan besar pula ‘untuk atas nama siapa sumbangan-sumbangan itu?, bagaimana kelanjutannya?, sipa pengelolanya?, bagaimana pengelolaannya?, bagaimana pengorganisasiannya apakah berbadan hukum seperti yayasan atau hanya seperti punguan-punguan yang setiap saat sesukanya dapat dibubarkan?, bagaimana pertanggungjawabannya karena pesta selanjutnya baru akan diadakan 25 tahun mendatang di tahun 2033? Apakah perhelatan ini hanya sebatas pengucapan syukur pribadi yang berhasil setelah kesaksian punguan di tahun 1983? Intinya semua pomparan Naipospos perlu bertanya pada diri masing-masing.

Kerumunan orang-orang yang berkepentingan mengambil kesibukannya di lapangan di depan pentas acara. Penulis mengambil kesempatan bersalaman dengan saudara-saudara, kenalan-kenalan. Bersama dengan ketua Punguan Hutauruk Se-Jabodetabek – Rizal Hutauruk, SE mendampingi Drs. Syarfi Hutauruk, MM diwawancarai oleh TVRI, kemudian ber-photo bersama.

Salah seorang panitia meminta kepada saya untuk mencari boru Hutauruk yang akan mendapat ulos dari panitia dengan bisikan bersedia menyumbang Rp 5.000.000 (lima juta rupah) dan saya mendaulat Drs. Sahala Situmeang dengan istri Dra. Dorkas br. Hutauruk untuk menerimanya, dan memintakan agar ketua Punguan Hutauruk Se-Jabodetabek-Rizal Hutauruk, SE memohon izin kepada Raja-raja anggi partubu Situmeang bahwa Drs. Sahala Situmeang – Dra. Dorkas br. Hutauruk direlakan sebagai boru ni Hutauruk pada acara itu.

Demikian selanjutnya penyematan ulos kepada boru dari 7 marga pomparan Naipospos dilaksanakan. Acara yang dihadiri oleh para pejabat Pemda Tapanuli Utara termasuk Bupati Taput Torang Lumbantobing dan jajarannya. Juga terlihat Timbang Hutauruk, SH – Kejati Kendari. Dan yang mengaku sebagai ketua panitia Drs. Parasian Simanungkalit, SH, MH, Birgjen Polisi (Purn) yang merangkap sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Punguan Toga Naipospos beserta jajarannya.

Demikianlah sekelumit versi cerita dari penggal-penggal acara di Dolok Imun disamping berbagai cerita dari pribadi-pribadi lainnya yang mengikuti acara tersebut.

Setelah berkesempatan melihat lokasi Mata Mual Naipospos walaupun tidak turun sampai kebawah jurang yang terjal. Untuk melihat Prasasti sebagai batu Partanda Naipospos yang dibuat pada tahun 1983 tepat berada di Puncak Dolok Imun tidak memungkinkan untuk didaki pada saat itu, namun penulis masih berniat suatu saat akan berkunjung ke lokasi tersebut.

Bersiap untuk pulang walaupun acara belum tuntas maka kami mohon pamit lebih dulu sambil menyalami Bupati Taput – Torang Lumbantobing, Kejati Kendari – Timbang Hutauruk dan jajaran yang duduk di barisan depan, maka kamipun berjalan pulang. Sesaat menanti supir memutar kendaraannya maka kami berjumpa dengan seorang yang dituakan di Hutaraja Sipoholon – Torang Hutauruk yang juga berniat untuk pulang sebelum acara tuntas. Beliau dengan semangat ketidak puasan melontarkan berbagai kecaman mengenai pelaksanaan acara yang banyak melompati harga diri punguan-punguan marga pomparan Naipospos yang katanya hanya sebagai penonjolan ego pribadi-pribadi ketimbang makna kebersamaan dan persatuan Pomparan Naipospos. Wa’allahualam? Tuhanlah yang tau!

Keramahan Torang Hutauruk sebagai tetua marga Hutauruk di Sipoholon mengajak kami mampir di rumahnya di desa Hutauruk – Hutaraja Sipoholon. Dengan suguhan kopi panas, beliau memulai nostalgia-nostalgia hajatan Naipospos di tahun 1983 yang merekam kenangan manis sebagai wujud saling menghargai diantara sesama yang berkepentingan untuk mensukseskan hajatan sebagaimana seharusnya yang layak terjadi pada “Pesta Jubeleum 75 Taon Pomparan Naipospos” yang baru saja dilaksanakan.

Beliau bercerita mengenai kebenaran Tarombo Naipospos yang dipercayai oleh beliau ada penyimpangannya di masyarakat marga-marga pomparan Naipospos sekarang ini. Agenda ini pula yang sangat disesalkan tidak masuk dalam acara pesta tersebut atau setidaknya seharusnya dikomunikasikan dalam kumpulan-kumpulan kepanitiaan dari mulai pusat sampai daerah-daerah, dan pesta ini diklaim hanya dilakukan oleh kepanitiaan pusat saja secara otoriter.

Kembali kepada judul artikel bahwa memang benar Naipospos sebagai parsadaan dari 7 marga, namun jalan ceritanya harus diketahui oleh semua insan Naipospos. Kesan bahwa Naipospos sebagai marga harus dihapuskan, terlepas apabila ada insan pomparan Naipospos yang secara administratif pemerintahan sudah tercatat sebagai marga dibelakang namanya sudah harus memulai meriwayatkan marga sebenarnya kepada keturunannya. Demikian pula untuk insan yang menyematkan marga Marbun dibelakang namanya. Untuk komunikasi diluar marga-marga pomparan Naipospos memang tidak mengandung masalah, akan lain halnya apabila penyebutan marga diantara pomparan Naipospos tentu menimbulkan kesan penyembunyian identitas diri diantara pomparan Naipospos.

Di beberapa referensi buku tertulis bahwa Tarombo Naipospos melahirkan dua toga yaitu Toga Sipoholon dan Toga Marbun yang keduanya bukanlah marga. Terjadinya toga-toga pada pomparan Naipospos adalah wujud persekongkolan diantara kelompok-kelompok marga karena ada konflik yang saling tidak menghargai pada masa itu. Tentu akar konflik pada masa itu bukan menjadi inti topik pembahasan karena prinsip saling menghargai diantara marga-marga sudah terwujud sampai saat ini, namun kebenaran sejarah tetap harus ditegakkan untuk melanjutkan kebenaran sejarah itu pada generasi-generasi selanjutnya. Haruskah momen berharga seperti “Pesta Jubeleum 75 Taon Pomparan Naipospos” terlewatkan begitu saja padahal periodenya berlangsung dalam satu generasi sekali 25 tahun.

Kekaburan sejarah tentu akan terus berlangsung generasi demi generasi dan diyakini akan hilang sama sekali apabila saksi-saksi sejarah sudah berpindah alamat ke Alam-baka. Torang Hutauruk menyebutkan bahwa mereka-mereka yang peduli akan kelurusan sejarah kalah pamor dengan para penulis yang membukukan sejarah hanya dari kulit luarnya saja, sementara punguan marga-marga dari pomparan Naipospos bahkan tak memberi ruang untuk pelurusan sejarah ini. Beliau mencontohkan kekaburan sejarah yang tertuang dalam buku karangan WM Hutagalung berjudul Pustaha Batak yang meriwayatkan tentang Naipospos dan pinomparnya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan sejarah yang menjadi referensi bagi generasi-generasi selanjutnya tanpa ada sanggahan pembenaran dari pinompar Naipospos.

Toga-toga sebagai bentuk persatuan marga-marga seperti Toga Sipoholon dan Toga Marbun haruslah terdefinisi secara jelas. Toga Sipoholon bukanlah mewakili persatuan (parsadaan) dari empat marga melainkan hanya tiga marga seperti Donda Ujung (Hutauruk), Ujung Tinumpak (Simanungkalit), Jamita Mangaraja (Situmeang) tanpa ikut serta Donda Hopol (Sibagariang). Lalu dikemanakan Sibagariang kalau Naipospos hanya menurunkan dua toga, bukankah ini berkesan menghapuskan Sibagariang dari peta pomparan Naipospos?

Ceritanya bermula sewaktu Sibagariang mengadakan suatu hajatan pesta yang mengundang saudara-saudaranya yaitu Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, dan Marbun. Oleh karena tidak menghargai saudara-saudaranya maka hajatan pesta dilaksanakan tanpa menunggu kehadiran saudara-saudaranya dari Marbun yang berasal dari tiga kampung yang disebut Lumban Batu, Banjar Nahor, Lumban Gaol, sehingga mereka tersinggung dan sakit hati lalu terjadilah sumpah dengan menancapkan 99 pantik (sej. tongkat) sebagai simbolisasi jumlah keturunan Sibagariang yang tidak boleh lebih malah boleh berkurang, ditonggokan kepada Mulajadi Nabolon sebagai Tuhan Pencipta Alam Semesta.

Kalau kita boleh bayangkan kejadiannya saat itu tentu terjadi pertikaian hebat diantara kakak beradik yang meruncing kearah unsur pembunuhan oleh Sibagariang kepada pinompar Marbun dari tiga kampung Lumban Batu, Banjar Nahor, dan Lumban Gaol. Adik-adik Sibagariang dari kelompok Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang mengambil inisiatif untuk melerai pertikaian dengan mengungsikan kelompok Marbun dari tiga kampung itu ke kampung marga Sihombing arah Humbang maka muncullah ‘padan (sumpah janji)’ sebagai awal adanya Toga Sipoholon dan Toga Marbun dengan inti padan bahwa Hutauruk dan Marbun Lumban Batu menjadi abang adik yang keturunannya tidak bolehmarsiolian’, kemudian Simanungkalit dengan Marbun Banjar Nahor menjadi kakak beradik yang keturunannya tidak boleh ‘marsiolian’, dan Situmeang menjadi abang adik dengan Marbun Lumban Gaol yang keturunannya tidak boleh ‘marsiolian’.

Padan ini sampai sekarang memang dipegang teguh dan dihormati oleh masing-masing pasangan marga yang ‘marpadan’, dan itulah kekuatan suatu padan kepada Mulajadi Nabolon yang sampai generasi selanjutnya harus dituturkan oleh orang-tua kepada anak-anaknya. Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang sudah jelas merupakan marga-marga yang menjunjung kemuliaannya dan oleh karena adanya padan yang dikelompokkan dalam suatu parsadaan yang disebut Toga Sipoholon dan Toga Marbun maka resmilah Lumban Batu, Banjar Nahor, Lumban Gaol menjadi marga-marga yang juga menjunjung kemuliaannya berdasarkan padan-padan antar Toga Sipoholon dan Toga Marbun.

Di antara padan ini tentusaja Sibagariang tidak ikut serta akan tetapi bukan berarti bahwa Sibagariang bukan keturunan Naipospos, malah Sibagariang adalah kakak yang disumpahi oleh adik-adiknya. Dari penguraian ini maka jelaslah bahwa Naipospos menurunkan 5 orang penerus generasi yang disebut Donda Hopol (Sibagariang), Donda Ujung (Hutauruk), Ujung Tinumpak (Simanungkalit), Jamita Mangaraja (Situmeang), dan Marbun.

Dengan penjelasan ini sudah sah bahwa Naipospos tidak menurunkan generasinya antara dua toga yaitu Toga Sipoholon dan Toga Marbun karena masih ada Sibagariang yang tidak termasuk dalam dua toga tersebut. Kemudian bahwa adanya tujuh marga-marga pinompar Naipospos adalah karena adanya persekongkolan antara dua toga-toga tersebut sehingga terbentuk 7 marga yaitu 6 marga pada dua toga yang marpadan dan ditambah satu marga Sibagariang. Maka Naipospos menurunkan 5 orang penerus generasinya sebagai kebenaran yang dapat dijelaskan.

Oleh karena padan inipula maka dua toga-toga ini memanggil haha kepada Sibagariang dan Sibagariangpun masuk dalam kelompok yang empat marga dilahirkan oleh ibu marga Pasaribu yang pertama dikawini oleh Raja Naipospos. Argumen lain yang mengatakan bahwa Naipospos merajakan hula-hulanya pertama tentu dari istrinya yang pertama pula, terlepas dari adanya legenda yang mengatakan bahwa istrinya yang keduapun adalah boru Pasaribu adik kandung dari istrinya yang pertama. Namun ada logika lain bahwa istrinya yang kedua ditopot dari kawasan Muara tentu bernuansa mangalap boru dari kawasan itu, sementara pada masanya bahwa marga pasaribu hanya berkampung di Silindung.

Kebenaran sejarah tentu harus bersumber dari pembuktian yang otentik maka dapat disepakati menjadi sejarah yang sah. Bagaimana metoda pencarian bukti-bukti otentik secara science tentu harus berdasarkan pembuktian-pembuktian arkeologis dari situs-situs yang ada dikawasan yang diceritakan. Bukti-bukti tertulis dari buku-buku laklak yang banyak menceritakan tentang budaya Bangsa Batak mungkin tidak banyak lagi yang dapat dicari, namun ada petunjuk bahwa buku-buku laklak ini masih ada tersimpan di Perpustakaan Negara RI (PNRI) sejumlah ±200 judul mungkin ada meriwayatkan ini, atau sekitar ±2000 judul laklak yang terdapat di Perpustakaan Princenton University, atau sekitar ±200-an judul yang terdapat di perpustakaan di Bremen-Jerman, atau beberapa ratus judul yang terdapat di Leiden-Belanda, atau kalau mungkin untuk mencarinya pada catatan-catatan laklak yang dibumi hanguskan oleh Laskar-laskar Paderi sewaktu pembantaian Silindung dari Selatan, atau mencari pembuktiannya dari laklak-laklak yang rela diberangus oleh Bangsa Batak sendiri semasa evangelisasi kristen oleh Nomensen karena dianggap sebagai media pemujaan setan?

Ada informasi bahwa terdapat situs batu bersurat yang terdapat di daerah Siantar Naipospos sekitar Barus, atau legenda yang mengatakan bahwa ibunya Naipospos si Boru Basopaet (Putri Majapahit) dikuburkan di daerah bermarga Hutabarat di Silindung yang bernama Sombaon Sibasopaet, atau mungkin pula dapat ditelusuri dari cerita dimana sebelum Boru Sibasopaet menyingkir dari Lobu Galagala di kawasan Dolok Tolong Balige bersama anak-anaknya sempat menguburkan barang-barang pusakanya di situ sebelum mereka hengkang ke daerah Sipintupintu. Atau mencari situs-situs yang mungkin ada di tempat yang dinamai Sombaon Same di kawasan air panas Sipoholon, dan ada yang mengatakan bahwa Martuasame adalah gelar untuk Naipospos sendiri yang dikatakan ‘marsame’ karena mengambil dua istri yang kakak beradik.

Pencarian pembuktian ini boleh juga diperlukan dan boleh juga pembuktiannya berdasarkan cerita-cerita legenda yang dibawakan oleh masing masing marga yang kemudian dicari benang merah sebagai penghubung mencari kebenarannya. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, tetapi isi kepala berbeda-beda tentu harus dihargai sebagai unsur yang memperkaya khasanah berpikir, dan konsep berpikir ini pula yang harus ditanamkan agar tidak terulang cerita yang melegendakan sumpah yang dialami oleh marga Sibagariang, yang tidak saling menghargai satu sama lainnya diantara saudara-bersaudara.

Tuhan Maha Pengasih, manusia merencanakan tetapi Tuhan yang menentukan membuyarkan kutukan-kutukan yang direncanakan oleh manusia. ‘Sejarah dunia selalu berulang dalam versi-versi yang berbeda’ demikian kata orang-orang pintar. Orang-orang beragama sekarang selalu mengatakan bahwa ‘kita sudah menerima Tuhan (Yesus, Allah) maka hal-hal sejarah yang berbau mistis sudah harus ditinggalkan’. Tetapi banyak juga orang-orang beragama meyakini bahwa harus ‘menghormati orang tua supaya lanjut usia di tanah yang diberikan Allah kepadanya’.

Pengamatan banyak orang mengatakan bahwa ‘orang tua’ bermakna ‘ayah-bunda’, ‘orang yang dituakan’, ‘nenek moyang’, ‘leluhur’. Banyak juga yang berpandangan bahwa ‘memuliakan Tuhan didahulukan, memuliakan orang tua dinomorduakan’ dan karena keinginan memuliakan Tuhan maka manusia-manusia lain diterbelakangkan.

Tererah kepada berbagai macam pendapat kebenaran, akan tetapi kemuliaan Nabi Sulaiman yang tiada tara diantara manusia hanya ingin mencari ‘hikmat’ dari Penciptanya adalah contoh yang mungkin perlu juga ditiru oleh pomparan Naipospos.

Apapun yang sudah terlaksana dan terjadi di Dolok Imun pada tanggal 29 Juni 2008 adalah kemuliaan bagi Naipospos oleh seluruh pomparannya, sehingga banyak orang yang melihat dari Dolok Imun berpendapat bahwa adapun kekurangannya tentu hanya bagaikan ‘menggarami airlaut’, namun adapula orang yang melihat ke Dolok Imun berpendapat bahwa ‘nila setitik merusakkan susu sebelanga’. Mana yang perlu dibenarkan ya… terserah sajalah…. (Maridup Hutauruk, 08 Juli 2008)

Sumber: Naipospos Online

  • Trackback are closed
  • Comments (0)
  1. horas….
    Toga-toga sebagai bentuk persatuan marga-marga seperti Toga Sipoholon dan Toga Marbun haruslah terdefinisi secara jelas. Toga Sipoholon bukanlah mewakili persatuan (parsadaan) dari empat marga melainkan hanya tiga marga seperti Donda Ujung (Hutauruk), Ujung Tinumpak (Simanungkalit), Jamita Mangaraja (Situmeang) tanpa ikut serta Donda Hopol (Sibagariang). Lalu dikemanakan Sibagariang kalau Naipospos hanya menurunkan dua toga, bukankah ini berkesan menghapuskan Sibagariang dari peta pomparan Naipospos?

    au naeng manungkun majo taringot na d hata muna on natua tua,,,,,
    alana au hurang paham do taringot penjelasan muna na kategori on,,,
    jadi harap situtu do rohakku naeng mangantusi d partuturan on,,,,,
    boasa SIBAGARIANG dang keturunan ni RAJA NAIPOSPOS,,, adong do bukti na boi jo si parsiajaran,,,, ku natua tua

    • Jaha hamu ma jolo sahali nari amang Darso. Ba molo adong do tarsurat bahwa Sibagariang ndang anak ni Naipospos, asa ta komplen tu panurat?

  2. Apa yg sdh tertulis di Sejarah (Buku), sebaiknya diyakini dan dijalani saja, toh tdk ada ruginya.
    seperti Halnya Yesus dan Nabi Muhammad bisa kita sanggah dgn tulisan lain, dan akhirnya sesat. Jadi biar Damai, ikuti yg sdh ada sajalah.

Leave a reply to Hotmaruli Marbun Cancel reply